Sisa-sisa Keikhlasan

Dulu pernah sedekat itu, kini telah sejauh ini. Entah siapa yang telah mengubahnya. Nyatanya, waktu telah mengubah segalanya. Tiada yang bisa menjamin yang lekat akan menetap.

Situasi dan waktu telah menunjukkan siapa kita yang sesungguhnya. Ya, kita, dari aku-kamu, menjadi saya-anda. Ego memang lebih kuat dari apa yang ada di dalam sini. 

Sukar merelakan kemelekatan. Mungkin itu yang memberatkan. Tersakiti oleh harapan sendiri. Padahal ia tahu yang bertanggung jawab atas bahagia itu diri sendiri.

Saat ini aku masih belajar untuk menelaah semua. Menerima apa yang terjadi saat ini. Melapangkan hati, juga memaafkan diri sendiri.

Sejauh ini, aku berkesimpulan bahwa memang ada baiknya jarak itu ada. Agar ada rasa saling menghargai, bukan menghakimi. Tiada memendam kesal, ataupun penyakit hati. 

Siapalah kita di dunia ini? Hanyalah lakon yang memilih topengnya sendiri, setiap hari. Kadang berlaku jujur, kadang juga manipulatif. Bisa tertawa dalam tangis, pun bisa bersedih dalam senyuman. Ya, kita hanyalah manusia biasa, berikut dengan sifat-sifat yang melekat di dalamnya.

Sebuah guci yang retak mungkin masih dapat disambung kembali. Akan tetapi wujudnya takkan sesempurna sebelumnya. Begitupula dengan apa yang terjadi pada kita. Tapi kita bisa memilih untuk saling memaklumi dan menyadari kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Tidak ada yang perlu dipaksakan. Biarkan semua mengalir apa adanya. Kau menjadi dirimu, dan aku menjadi diriku. Kita, hanyalah orang-orang yang terlalu cinta pada egonya.

Jakarta, 7 Januari 2022

Pukul 23.17 WIB

Komentar

Postingan Populer